SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA
A. Pengertian
Madrasah
Kata madrasah diambil dari akar kata
darasa yang berarti belajar. Madrasah adalah isim makan dari kata ini sehingga
berarti tempat untuk belajar. Istilah madrasah sering diidentikkan dengan
istilah sekolah atau semacam bentuk perguruan yang dijalankan oleh sekelompok
atau institusi umat Islam (Zaki Badawi, 1980:229).
Kata “Madrasah” berasal dari bahasa
Arab sebagai keterangan tempat (dzaraf), dari akar kata : “Darasa, Yadrusu,
Darsan, dan Madrasatan”. Yang mempunyai arti “Tempat belajar para pelajar” atau
diartikan “jalan” (Thariq), misalnya : diartikan : “ini jalan kenikmatan”.
Sedangkan kata “Midras” diartikan “buku yang dipelajari” atau “tempat belajar”.[1]
Dalam bahasa Indonesia madrasah
disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan
memberi pengajaran.[2]
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah
adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan
keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
B. Sejarah singkat
munculmaya madrasah
Secara umum madrasah juga sama dengan
sekolah-sekolah lain, yaitu lembaga pendidikan yang menggunakan sistem klasikal
dan kelas dengan segala fasilitasnya seperti kursi, meja dan papan tulis,
kecuali aspek tradisi dan kurikulum yang dilaksanakan. Meskipun
sekarang posisi madrasah secara yuridis sama terutama dalam aspek kurikulum
tetapi madrasah secara umum masih mempertahankan ciri khasnya sebagai sekolah
yang berciri khas Islam.
Madrasah sebagai salah satu bentuk
kelembagaan pendidikan Islam memiliki sejarah yang sangat panjang. Ada beberapa
pendapat mengenai nunculnya madrasah diantaranya Syalabi (1987: 43) Madrasah
pertama kali dirikan pada tahun 459 H oleh Nizam al-Mulk di Baghdad. Hasan Abd
‘Al (1988; 210) Madrasah telah lebih awal berdiri pada abad keempat Hijriyah di
Naisabur. Munculnya pendidikan madrasah pada awalnya selain dilatarbelakangi
oleh motivasi agama dan motivasi ekonomi, juga motivasi
politik. Sebab itu kelembagaan madrasah merupakan formalisasi yang dilakukan
pemerintah terhadap sistem pendidikan informil yang telah ada sebelumnya, sisi
lain ialah adanya ketentuan-ketentuan yang lebih jelas yang berkaitan dengan
komponen-komponen pendidikan dan keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan
madrasah.
Dengan demikian keberadaan madrasah
pada waktu itu merupakan tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam yang
banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan pada
masa-masa berikutnya, termasuk perkembangan pendidikan di dunia Barat. Abd
Ghani Abud mengatakan “pendirian universitas-universitas di Barat adalah
sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nidzamiyah)”.[3] George Makdisi juga membuktikan, bahwa
tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi
madrasah.
Di Indonesia, madrasah merupakan
fenomena moderen yang dimulai sekitar awal abad ke-20. Tidak ada kejelasan
hubungan madrasah abad ke 11-12 di timur tengah dengan munculnya madrasah di
Indonesia pada awal abad ke-20. Sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia, jika
dikembalikan pada situasi awal abad ke-20, dianggap sebagai memiliki latar
belakang sejarahnya sendiri, walaupun sangat dimungkinkan ia merupakan
konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di timur tengah
masa moderen.(Simanjuntak (1972: 24).
Bahwa masuknya agama Islam tidak
mengubah hakekat pengajaran agama yang formil, yang berubah ialah isi agama
yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, serta
latar belakang pelajar-pelajar, jadi masih tetap menganut pola hindu. Sejalan
dengan itu Karel Steenbrink (1994) mengindikasikan bahwa pendidikan Islam
berevolusi dari pesantren, madrasah dan kemudian sekolah, sebab itu madrasah di
Indonesia dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga
pendidikan pesantren dan surau.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu
indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat
Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena
madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian
keilmuan, intelektual dan kultural.[4]
Oleh sebab itu madrasah telah menjadi
salah satu wujud entitas budaya bangsa Indonesia yang telah menjalani proses
sosialisasi yang relatif intensif, dan dalam waktu yang cukup panjang itu telah
memainkan peran tersendiri dalam panggung pembentukan peradaban bangsa.
Sebelum terbentuk sistem madrasah, pada
awalnya proses pendidikan dan pengajaran dilaksanakan di masjid dan pesantren.
Setelah terbuka dan semakin kuatnya proses pembentukan “Intellectual Webs”
(jaringan intelektual) di kalangan umat Islam dengan Haramain sebagai sumber
tempat yang “asli”, nuansa mistik yang kental di pondok pesantren lambat laun
semakin berkurang dan bergerak ke arah proses ortodoksi, atau oleh pengamat
peradapan di Indonesia menyebut adanya proses bergerak dari Islam yang bercorak
mistik menuju ke Islam Sunni (Malik Fadjar, 1998: 22).
Disisi lain juga terjadi proses
perubahan isi pembelajaran di dalam format-format pembelajaranya. Persentuan
“global” dengan pusat Islam di Haramain memungkinkan para pelaku pendidikan
Islam melihat sistim pembelajaran yang lebih terprogram. Maka tumbuh dan
berkembanglah pola pembelajaran pelajaran Islam yang dikelola denggan sistim
“Madrasi”. Sebagaimana dimaklumi bahwa sistim madrasah pertama kali didirikan
dan diperkenalkan di dunia Islam adalah madrasah Nidzamiyah di baghdad yang
didirikan oleh perdana mentri Nidzamul Mulk seorang penguasa Bani saljuk pada
abad II yang salah seorang gurunya adalah Imam Ghazali (ensiklopedia Islam;
3:1994).
Kemudian sistem madrasah ini
berkembang ke berbagai kota di negeri Islam antara lain di Kairo (Mesir)
berdiri perguruan al-Azhar, di Spayol berdiri perguruan Cordoba dan di India
berdiri madrasah Deoban. Dari sini dapat diketahui bahwa madrasah yang kita
temukan di Indonesia bukanlah suatu yang indigenius (pribumi) dalam peta dunia
pendidikan di Indonesia, dan juga sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata
“madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab, secara harfiah kata ini
setara maknanya dengan “sekolah”. Berbeda dengan pesantren, yang oleh para
peneliti/ilmuwan dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki watak
indigenius (A.Malik Fadjar, 1998:20).
Dilihat dari pengelolaannya, pendidikan
sistem madrasah ini memungkinkan cara pembelajaran secra klasikal. Hal ini
berbeda dengan cara yang berkembang di pondok pesantren yang lebih bersifat
individual seperti yang terdapat pada sistem sorogan dan wetonan. Pengelolaan
sistem madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan pelajaran-pelajaran
tentang pengetahuan Islam yang penyampaiannya dilakukan secara
bertingkat-tingkat. Pengelompokan ini sekaligus memperhitungkan rentang waktu
yang dubutuhkan. Sehingga secara tehnis, sistem madrasi berusaha
mengorganisasikan kegiatan kependidikannya dengan sistem kelas-kelas berjenjang
dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah
dipolakan.
Format madrasah dari waktu ke waktu
semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keIslaman terus mengalami
perubahan, seiring dengan semakin kuatnya kontak dengan dunia luar terutama
dengan negara-negara Islam dan juga dipengaruhi oleh kolonialisasi di nusantara
ini yang berabad-abad lamanya.
C.
Perkembangan Madrasah di Indonesia
a.
Masa Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial Belanda
Madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan
dikalangan umat Islam. Pertumbuhan Madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola
respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata- mata bersifat defensif,
terhadap pendidikan Hindia Belanda kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri
terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran
akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering
terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi
dengan alasan ketertiban dan keamanan. [5]
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun
memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi
pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan,
berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan
dan legitimasi dari pemerintah. [6]
Kebijakan
yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa
penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan
pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali
madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian,
pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi
perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia. Perkembangan
Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran
Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 1946, dalam
perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis dan
tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi
dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30%
sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang
menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah
Diniyah. [7]
Dalam Undang-
undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah dalam pasal2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak
berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam
pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan masa
pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dengan
rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem
pendidikan nasional, tetapi sudah
merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan
nasional.[8]
b.
Madrasah Pada Masa Orde Lama.
Memasuki awal
orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada Tanggal
3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan pendidikan
islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang pendidikan
islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama diajarkan di
sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri.
Salah
satu perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde lama ialah:
Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan hakim islam
negri. madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di mana madrasah
dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga professional keagamaan, disamping
mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3
Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar
pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969”
ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas
negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali
murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam
kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak
terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri
sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan dan
kebbudayaan.[9]
c.
Masa Orde Baru
Pada masa orde
baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam
pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi,
yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang
peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan
madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan
sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih
atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan
Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
Pemerintah orde
baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, penegasan definitif
tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih
operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa
menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa
Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem
pendidikan nasional. [10] Pada masa orde baru ini madrasah mulai
dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat kelas rendah
sampai masyarakat menengah keatas.
Sedangkan pertumbuhan jenjangnya menjadi 5 (jenjang) pendidikan yang secara
berturut-turut sebagai
berikut :
1) Raudatul Atfal
(Bustanul Atfal).
Raudatul Atfal atau Bustanul Atfal
terdiri dari 3 tingkat :
1.
Tingkat A untuk
anak umur 3-4 tahun
2.
Tingkat B untuk
anak umur 4-5 tahun
3.
Tingkat C untuk
anak umur 5-6 tahun
2) Madrasah
Ibtidaiyah.
Madrasah
Ibtidaiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
rendah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar
yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
3) Madrasah
Tsanawiyah
Madrasah
Tsanawiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
tingkat menengah pertama dan menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata
pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
4) Madrasah
Aliyah.
Madrasah Aliyah
ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat
menengah keatas dan menjadikan mata pelajaran agama Islam. Sebagai mata
pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
Dewasa ini Madrasah Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu Agama, Fisika,
Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya.
5) Madrasah
Diniyah
Madrasah
Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pelajaran agama Islam, yang berfungsi
terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak
mendapat pendidikan agama Islam.